Kejujuran
sebuah kata yang sangat sederhana tapi sekarang menjadi barang langka
dan sangat mahal harganya. Memang ketika kita merasa senang dan
segalanya berjalan lancar, mengamalkan kejujuran secara konsisten
tidaklah sulit, tetapi pada saat sebuah nilai kejujuran yang kita pegang
berbenturan dengan perasaan, kita mulai tergoncang apakah tetap
memegangnya, atau kita biarkan tergilas oleh keadaan. Sebuah kisah
kejujuran yang sangat menyentuh hati, dua orang anak kecil menjajakan
tisu di pinggir jalan. Membuat kita mesti belajar banyak tentang arti sebuah kejujuran.
Kutipan dari : http://www.unic29.com/2011/10/renungan-kisah-kejujuran dua-bocah.html#ixzz1gO0wKMzo
Siang ini, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka makhluk-makhluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas
jembatan penyeberangan Setia Budi, dua sosok kecil berumur kira-kira
delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam. Saat
menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas
dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan, “Terima kasih Oom!” Saya
masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit
senyum seraya mengangguk ke arah mereka.
Kaki-kaki kecil mereka menjelajah lajur lain di atas
jembatan, menyapa seorang laki laki lain dengan tetap berpolah seorang
anak kecil yang penuh keceriaan, laki-laki itu pun menolak dengan gaya
yang sama dengan saya, lagi-lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan
terima kasih dari mulut kecil mereka. Kantong hitam tempat stok tissue
dagangan mereka tetap teronggok di sudut
jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya melewatinya dengan lirikan
kearah dalam kantong itu, dua pertiga terisi tissue putih berbalut
plastik transparan.
Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayuti langit Jakarta.
“Terima kasih ya mbak … semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” tukas
mereka, tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah
sepuluh ribu rupiah.
“Maaf, nggak ada kembaliannya … ada uang pas nggak mbak?” mereka
menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan
sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah
mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.
“Oom boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?” suaranya
mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit
terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa
kembalian food court sebesar empat ribu rupiah. “Nggak punya!”, tukas
saya. Lalu tak lama si wanita berkata “Ambil saja kembaliannya, dik!” sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah timur.
Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya
dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya kegenggaman saya
yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk
memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah
berteriak ia bilang “Sudah buat kamu saja, nggak apa..apa ambil saja!”,
namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “Maaf mbak, cuma ada
empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !”
“Eeh … nggak usah … nggak usah … biar aja … nih!”
saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya, tapi terus berlari ke
bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan
tukang ojek. Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, “Nanti dulu Om, biar ditukar dulu … sebentar.”
“Nggak
apa apa, itu buat kalian” lanjut saya. “Jangan … jangan oom, itu uang
oom sama mbak yang tadi juga” anak itu bersikeras. “Sudah … saya ikhlas,
mbak tadi juga pasti ikhlas !”, saya berusaha membargain, namun ia
menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak
memanggil temannya untuk segera cepat.
Secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke
arah saya. “Ini deh om, kalau kelamaan, maaf ..”. Ia memberi saya
delapan pack tissue. “Buat apa?”, saya terbengong “Habis teman saya lama
sih oom, maaf, tukar pakai tissue aja dulu”. Walau dikembalikan ia tetap menolak.
Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya
kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya.
Beberapa saat saya mematung di sana,
sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu,
dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu
rupiah. “Terima kasih Om!”..mereka kembali ke ujung jembatan sambil
sayup sayup terdengar percakapan, “Duit mbak tadi gimana ..?” suara
kecil yang lain menyahut, “Lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi
ntar kita kasihin …….”.
Percakapan itu sayup sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali ke
kantor dengan seribu perasaan. Tuhan, hari ini saya belajar dari dua
manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat
saya trenyuh, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya
sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka
berusaha tak meminta minta dengan berdagang tissue.
Kutipan dari : http://www.unic29.com/2011/10/renungan-kisah-kejujuran dua-bocah.html#ixzz1gO0wKMzo